Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

This Theme From:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Minggu, 25 Desember 2011

3 months ago :(



alhamdulillah, masih bisa sampai di hari ini, 


ada yang berkesan di tanggal ini, tepat 3 bulan yang lalu, saya harus melepaskan orang yang benar-benar saya cintai..
pernahkah engkau kehilangan orang yang engkau sayangi?
bagaimana sakitnya?
Sakit? tentu saja, saya pun merasakan sakit di sekujur badan saya, terutama di salah satu organ dalam saya yang sangat sensitif (hati saya remuk, beghhh), 
bahkan mengingatnya pun saya benar2 trauma, entah harus kepada siapa saya harus menceritakan betapa sakitnya saya saat itu..
tapi saya mencoba untuk berpikir positif..


dan hari ini ketika saya harus mengingatnya lagi, saya kembali menangis...
lemahnya saya ternyata,
25 September 2011





Kamis, 22 Desember 2011

Bless us ya Rabb with Righteous

Dear Future Husband, ♥

I will cook. I will clean. I will shop. I will be the best wife, ever, insha Allah.
I will dress up for you. I will maintain my appearance for you. I will make sure to be the best wife I can be, insha Allah.
I will have children with you & I will raise them to be the best they can be. I will be the best mother, insha Allah.
All this -- as long as you promise me one thing....
♥ Help me, accompany me in getting to Jannah! ♥

Rabu, 21 Desember 2011

Jalan Cinta Para Pejuang

“Seandainya kami bisa membelikan janggut untuk Qais dengan harta kami”, kata orang-orang Anshar, “Niscaya akan kami lakukan.” Semua sifat dan jiwa kepemimpinan memang ada pada pemuda ini. Nasabnya juga terkemuka lagi mulia. Kecuali, ya itu tadi, Janggut. Salah satu symbol kejantanan dalam kaumnya yang sayangnya tak dimilikinya. Wajahnya licin dan bersih.

Namanya Qais ibn Sa’d ibn ‘Ubadah. Ayahnya, Sa’d ibn ‘Ubadah, pemimpun suku Khazraj di Madinah. Rasulullah menyebut keluarga ini sebagai limapahan kedermawanan. Ketika para muhajirin datang, masing-masing orang Anshar membawa satu atau dua orang yang telah dipersaudarakan dengan mereka kerumahnya untuk ditanggung kehidupannya. Kecuali Sa’d ibn ‘Ubadah. Dia membawa 80 orang muhajirin ke rumahnya!

Saat masuk Islam, Sa’d ibn’Ubadah menyerahkan sang putera kepada Rasulullah. “inilah khadam Anda wahai Nabi Allah”, ujar Sa’d. Tapi menurut Anas ibn Malik, Qais lebih pas disebut ajudan Sang Nabi. Dan air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Dalam pergaulannya di kalangan pemuda, Qais sangat royal seperti bapaknya di kalangan tua-tua. Tak terhitung lagi sedekah dan dermanya. Tak pernah ditagihnya piutang-piutangnya. Tak pernah diambilnya jika orang mengembalikan pinjaman padanya.

Kedermawanan Qais begitu masyhur di kalangan muhajirin hingga menjadi bahan perbincangan. Sampai-sampai suatu hari Abu Bakr Ash Shiddiq dan ‘Umar Ibn Al Khaththab berbicara tentangnya dan berujar “kalau kita biarkan terus pemuda itu dengan kedermawanannya, bisa-bisa habis licinlah harta orang tuanya!”

Pembicaraan ini sampai juga ke telinga sang ayah, Sa’d ibn ‘Ubadah. Apa komentarnya? Menarik sekali. “Aduhai siapa yang dapat membela diriku terhadap Abu Bakr dan ‘Umar?!”, serunya. “Mereka telah mengajari anakku untuk kikir dengan memperalat namaku?” Mendengarnya para shahabat pun terteawa. Lalu Abu Bakr dan ‘Umar meminta maaf padanya.

Ah, Qais dan Sa’d. Ayah dan anak ini sebaris di jalan cinta para pejuang. Tak ada bedanya.

Jalan Cinta Para Pejuang, Salim A Fillah

our song

tak pernah aku mengerti
apa yang kini ku rasakan
kegelisahan hatiku saat ini

ku masih merindukanmu
walaupun kini ku tlah bersamanya
tak pernah mampu ku coba lupakanmu

sungguh tak bisa
ku mengganti dirimu dengan dirinya
sungguh tak sanggup
aku berpaling darimu
sungguh tak bisa
mencintainya tuk melupakanmu
sungguh tak sanggup
aku berpindah dari hatimu

untukmu selamanya by ungu

Minggu, 18 Desember 2011

fav quote

"Aku bukan tak sabar, hanya tak ingin menanti

Karena berani memutuskan adalah juga kesabaran

Karena terkadang penantian

Membuka pintu-pintu syaithan” 


Salim A. Fillah-

Sabtu, 17 Desember 2011

happy weekend ^^

deuh seunengnya yang lagi weekend, pasti bisa santai2, bisa nonton sepuasnya, bisa jalan jalan...
but, me...
bagi saya weekend ya namanya aja weekend, hari ini saya tetap harus bersiap dengan beberapa agenda di kampus... sedihkah saya? sedikit...tapi, semua harus kita jalanin dengan ikhlas, supaya dapet pahala, bukan hanya sia-sia..hahaiiii (*senantiasa memperbarui niat)
pagi ini abis subuhan , saya berkutat depan lappy,mengganti template blog saya
maklum pemula, hee, jadi googling2 dolo..., malu nanya terus sama my boss.. (peace bos,love u)
saking semangatnya, gak sadar udah jam 7 aja,
deng...deng...deng...dengan senyum ceria saya melangkah cek antrian kamar mandi..
and then...
kos saya mati air, tamatlah riwayat saya
*sensor*
daripada saya kesel, mending saya ke depan lappy lagi dan berharap dalam 1 jam ke depan air kembali ngalir, walaupun harapan itu sangat,sangat,sangat,tipiss sekali..
tapi tetep aja gak ada salahnya berharap,mumpung gak bayar.. ya kan ya?

sebenarnya saya ngerasa sering norak aja nulis2 kayak gini, tapi gimana ya, daripada saya kesel2 gak jelas, mending nulis-nulis yang gak jelas (sama aja gak sih?)
saya juga gak berharap orang-orang pada baca tulisan sayaa, yaa saya cuman pengen nulis, nulis apa aja, jadi jangan salahkan saya, abis baca tulisan ini, temen2 bakal bilang
"gak penting banget niy orang"
hehehhehe, 
tapi saya mah nyantai2 aja, paling abis itu, entri ini saya hapus, kekekkekkkk..
buat yang rela2in baca tulisan ini (pasti orangnya baik banget, gak sombong, gak pernah marah, dan rajin menabung, ciee senyum2 sendiri, yes, it's u)

udah ah, saya mau ke dapur dulu, mau masak sarapan
*met weekend aja ya, hopefully you can use this day as much as you want it..





menjadi IBU


Wanita terdahsyat bagi pria, bukan yang pesonanya memukau banyak mata, tapi yang siap jadi madrasah cinta bagi anak-anaknya.
-Ikhwah Gaul-
Baca ini di facebook, jadi pengen banget nulis perasaan saya saat ini:


Dulu saya pernah bercita-cita jadi dokter (cita2 ini berakhir sejak saya diterima di FKM di univ negeri di KALTIM, hehe), jadi dosen (karena depresi ngejar2 dosen pembimbing), jadi trainer (saking seringnya ikut training motivasi, :)), ahli gizi, konsultan,  dan selalu berubah-ubah tergantung apa yang saya alami saat saya ditanya tentang cita-cita saya...
 tapi saat ini semua itu tidak menjadi fokusan cita-cita saya saat ini...


ya, sesuai quote di atas, 
saya ingin menjadi seorang IBU yang bisa jadi madrasah buat anak-anak saya kelak.. jangan protes dulu..
bukan berarti jadi dokter, dosen, trainer, ahli gizi, gak bisa jadi seorang IBU, tapi saya hanya sedang tergila-gila dengan cita-cita itu..


sudah punya anak? 
>>menikah pun belum, hehehehhe
tapi itu cita-cita terbesar saya saat ini, 
sudah siapkah???


makanya harus dipersiapkan dari sekarang, 
supaya bisa menjadi IBU yang seutuhnya,


pengennya kelak jika punya anak 
ingin merawat sendiri, dan tidak dititipkan ke orang lain... (aamiin)
anak adalah amanah dari ALLAH untuk kita, yang nitip ke kita bukan makhluk,...tapi ALLAH.., 
jadi mesti dijaga sebaik-baiknya... (makin berat pembicaraaan, hehehe)


intinya saya ingin menjadi IBU yang baik buat anak-anak saya kelak, insyaAllah (aamiin), doakan saya ya... 

Jumat, 16 Desember 2011

Bapak Tua Penjual Amplop



Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat, saya selalu melihat seorang bapak tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik. Sepintas barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha setiap hari Jumat. Pedagang di pasar kaget umumnya berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh dia “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun bapak itu tetap menjual amplop. Mungkin bapak itu tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.
Kehadiran bapak tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran bapak tua itu.
Kemarin ketika hendak shalat Jumat di Salman saya melihat bapak tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu bapak itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, saya menghampiri bapak tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkusa plastik itu. “Seribu”, jawabnya dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya. Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi bapak tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.
Bapak itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.
Saya bertanya kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat lima buah amplop. Bapak itu menunjukkan kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. “Bapak cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu. Saya jadi terharu mendengar jawaban jujur si bapak tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, bapak tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli nasi.
Setelah selesai saya bayar Rp10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak lupa saya selipkan sedikit uang lebih buat bapak tua itu untuk membeli makan siang. Si bapak tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis. Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman di facebook yang bunyinya begini: “bapak-bapak tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap..”.
Si bapak tua penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang barangnya tidak laku-laku. Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka insya Allah lebih banyak barokahnya, karena secara tidak langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka.
Dalam pandangan saya bapak tua itu lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran di masjid Salman, meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si bapak tua tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan amplop yang keuntungannya tidak seberapa itu.
Di kantor saya amati lagi bungkusan amplop yang saya beli dari si bapak tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si bapak tua.
Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di sudut meja kerja. Siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan melihat si bapak tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan dagangannya yang tak laku-laku.

Oleh: Rinaldi Munir, Bandung.